“Anis
Matta: Renovasi Toilet DPR 2 M Tak Pantas Dipersoalkan”. Itulah salah satu
judul thread pada sebuah milis yang saya
baca pagi ini. Mata bening saya terfokus, bola mata membulat, membesar,
memastikan bahwa yang saya baca adalah benar. Yap, berita tentang rencana
renovasi toilet di gedung DPR ini telah ramai diberitakan media. Anggaran yang
dibutuhkan katanya mencapai 2 M. Aih, judulnya saja renovasi, tentu seharusnya tidak
seperti membangun dari awal, dan pasti tidak semua toilet rusak. Tapi entahlah,
kenapa anggarannya sampai harus sebesar itu? Bilakah yang perlu direnovasi 100
buah toilet, berarti satu buah toilet diperlukan anggaran Rp.20.000.000,-. “Toilet macam mana yang harganya 20 juta?? Wuih,
bakalan lebih betah di toilet tuh, ketimbang di kantor atau di ruang sidang.” Seorang
teman berkomentar.
“Nduk,
gedung DPR ki toilete koyok apo tho? Wis pernah neng gedung DPR durung? Mbok njajal
toilete, mumpung neng Jakarta.” Aha,
Bapak, biasanya kami jarang berbincang, “Arep ngomong karo Ibukmu?” begitu
setiap kali hendak memulai berbincang dengan beliau. Tapi rupanya “TOILET” kali
ini menarik perhatian beliau. Sehingga beliau perlu memastikan bahwa putrinya
yang manis ini pernah main ke gedung DPR mumpung lagi di Jakarta. Bagi kami
warga kampung, melihat gedung DPR hanya dari TV. Jangankan “njajal toilet”, ke
halaman DPR saja belum pernah. Bapak mengeluarkan unek-uneknya, bertanya-tanya
seberapa bagus toilet yang harus dibuat dengan uang rakyat sebanyak itu. Saya pun
jadi berfikir, bila toilet sudah selesai direnovasi, terus seluruh rakyat
Indonesia berbondong-bondong datang ke Jakarta dan ingin “njajal toilet” semua?
Apa yang akan terjadi? Miris.
Saya
jadi teringat, rupanya sudah lama juga kami bersama teman-teman tidak main ke
DPR, meski sekedar melihat sidang paripurna dari balkon belakang ikutan bersama
rekan-rekan media. Ah, yang bicara saat rapat juga itu-itu saja. Waktu shalat
pun tiba, kami keluar sebentar. Tiba-tiba seorang ibu dengan dandangan modis
berkerudung hijau bertanya, “Mbak, toilet wanita sebelah mana, ya?”, kami pun
mengantar beliau sampai di depan pintunya.
“Interupsi
Bapak ketua” ruang sidang agak sedikit rame, saya lupa waktu itu sedang
membahas apa. Kamera zoom ke arah sumber
suara. Kami menyaksikan dari layar besar yang dipasang di bagian depan
ruang sidang. Tiba-tiba, syuutt, “Lho, bukankah ibu berkerudung hijau yang di
samping bapak itu yang ketemu dengan kita tadi? Haa, ternyata beliau anggota
dewan?” saya memastikan. Aduh, kami semua pun terheran-heran. Barangkali memang
kami yang kuper tidak mengenali siapa beliau. Tapi, melihat beliau yang masih
tampak canggung, saya berfikir beliau adalah “orang luar” seperti kami.
Sehingga wajar bila belum tahu dimana posisi toilet wanita di ruang ini. ^_^
Di
hari yang lain, kisah lucu juga terjadi. Waktu itu, kami ingin bertemu bu Waode.
Saya melihat profil beliau baru sebatas dari internet, beliau belum sering
muncul di TV. Alhamdulillah jadwal telah disepakati melalui asisten pribadi
beliau. Kami berempat menanti di ruang tunggu, 30 menit berlalu sudah dari
waktu yang telah dijanjikan. Kami masih sabar menunggu, kira-kira 15 menit
kemudian keluarlah seorang ibu muda dengan pakaian sederhana menuju pintu lift.
Seorang mbak satuan keamanan menemui kami dan bertanya dengan pertanyaan yang
sama dengan mbak sebelumnya, “Mau bertemu siapa?”. “Bu Waode”, jawab kami
kompak. “Lho, baru saja bu Waode keluar mau menghadiri sidang komisi. Apakah tidak
bertemu beliau?” sambut mbak keamanan terheran-heran. Haa.. kami pun
berpandangan. Rupanya ibu yang tadi keluarlah yang seharusnya kami temui. Batal
deh.. Hihi, sejak saat itu kami selalu mencari-cari ada tidaknya pin garuda
untuk mengenali setiap orang apakah beliau anggota dewan atau bukan. Biasanya pin
itu dipasang di kerah baju atau di kerudungnya. Dan lagi, kawan, carilah yang
banyak dikerubungi wartawan. Karena, bila anggota dewan lenggang kangkung tanpa
dikejar wartawan, berarti beliau jarang bicara. ^_^
Kembali
pada persoalan renovasi. Renovasi sebenarnya suatu hal yang biasa dilakukan.
Baik renovasi sekolah, renovasi rumah, kantor dan lain-lain yang memang telah
mengalamai kerusakan sehingga perlu diperbaiki. Namun, benarkah saat ini
renovasi toilet DPR adalah sesuatu yang urgent sehingga tidak bisa tidak harus
dilakukan sekarang ini dengan menelan biaya sebanyak 2 M? Saya fikir, uang 2 M
itu bukan daun dan itu uang rakyat, jadi harus dikembalikan kepada rakyat. Sedih,
kini rakyat benar-benar terlupakan. Di tengah himpitan perekonomian yang
semakin mencekik, harga sembako yang semakin melonjak naik, biaya pendidikan yang
mahal, pengobatan yang kian tak terjangkau, dan berbagai kekisruhan yang tak
pernah tuntas semakin memperburuk wajah
negeri ini. Jadi, jangan salahkan bila seorang teman punya ide, “Ayo, bu, buat
posko solidaritas untuk ngumpulin isi toilet terus diserahkan ke DPR!”
Studio,
06 Januari 2012